Hidup neraka bagiku. Tak pernah ku dengar sepatah pujian yang datang untukku, apalagi penghargaan untuk semua jerih payahku. Kerjaku, baktiku, pengorbananku untuk keluarga semua seakan tak berarti. Hanya ibarat sampah yang tak beharga sedikitpun.
Aku adalah INTAN. Seorang anak yang begitu haus akan kasih sayang. Dimanjakan, dicinta, dan diperhatikan adalah hal yang aku idamkan selama ini, tapi yang aku dapatkan hanya cacian. Aku tinggal bersama ibuku. Ibu telah lama berpisah dengan ayahku. Ayah menikah dengan wanita lain dan kemudian pergi jauh seakan melupakan kewajibannya terhadapku. Aku benci ayahku. Ibu adalah seorang pegawai disebuah perusahaan. Setiap pagi ia pergi begitu cepat bahkan sebelum aku terbangun, sehingga untuk melihatnya saja aku hampir tak pernah apalagi untuk bermanja-manja dengannya. Ia terlalu sibuk dengan duniannya, aku sebagai anak tak pernah diperhatikannya. Setiap pulang kerja, ia hanya bisa mengomentari semua pekerjaanku, masakanku yang tak enak, rumah yang kotor karna tak sempat kubersihkan, semua itu selalu menjadi alasannya untuk memarahiku.
‘’Intan, kamu ini sudah dewasa, tapi kenapa sifatmu masih seperti anak-anak?” Lagi-lagi ibu memarahiku dengan kata-kata yang sama. “Bu, andaikan kau tahu, bukan cacianmu seperti ini yang kuinginkan aku butuh perhatianmu Bu” bisikku dalam hati.
Ingin sekali rasanya aku menyahut ibu, lidahku kaku, tak bisa berucap sepatah katapun. Air mataku jatuh, ibupun pergi meninggalkanku……
Hari ini aku berusaha bangun sedikit lebih cepat. Memasak masakan kesukaan ibu. Aku memasaknya dengan penuh hati-hati, mengharap hasilnya nanti dapat memuaskan hatinya, dan ia senang dengan pekerjaanku. Sungguh aku ingin dihargainya walau hanya sekali saja.
“Bu, ini masakan kesukaan ibu kan? Aku sengaja memasaknya untukmu”. Ibu melihatnya dan kemudian duduk untuk makan. Aku menunggunya berbicara, mengharap ia mengatakan bahwa ia suka dengan masakanku, tapi ternyata ia tak berkata apa-apa, ia bangkit dari tempat duduknya dan kemudian pergi. Sebelum pergi ia berpesan kepadaku untuk memasak dan memberesi rumah. Pesan yang selalu sama setiap harinya.
Mungkin kebahagiaan memang tak pantas kudapatkan. Ibu tak pernah mengizinkanku untuk melanjutkan pendidikanku. Baginya aku lebih baik jika aku hanya tinggal dirumah dan mengurusi semua pekerjaan rumah.
“Bu, bolehkah aku melanjutkan pendidikanku, pergi ke universitas yang bagus dengan begitu masa depanku akan bagus buk”. Rayuku kepada ibu. “Universitas yang bagus belum tentu bisa menjamin masa depan yang bagus, nak”, “Tapi buk…”, ibu tak mendengar ku lagi, ia langsung pergi…
Keinginanku untuk melanjutkan pendidikan terlalu besar, akupun tak sanggup lagi dengan sikap ibu kepadaku. Aku ingin disayangi, aku ingin dihargai, tapi ibu tak pernah memberikannya untukku. Aku lebih dari sampah dimatanya. Aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Rumah yang telah mengurungku dan menjauhkanku dari pendidikan, rumah yang bagaikan penjara agiku. Aku ingin mencari uang dan kemudian melanjutkan pendidikanku. Aku juga ingin melihat apa yang dilakukan ibu setelah kepergianku, mencariku atau malah membiarkanku terlantar bagai induk melupakan anaknya.
Kini satu bulan sudah kepergianku, tapi ibu tak juga datang menjemputku, mungkin mencariku saja tidak. Memang sudah ku duga sejak pertama. Tapi bagaimanapun, aku telah bersalah karna telah meninggalkan rumah tanpa meminta izin dari ibuku. Dengan berat hati, kupaksakan langkah ringanku untuk kembali ke kurungan itu. Kerinduan karna sebulan sudah berpisah dengannya bisa menjadi alasanku untuk kembali kerumah itu.
Ternyata tak ada yang berubah dengan rumahku, masih tetap seperti dulu, sebelum kepergianku halamannya yang berantakan dipenuhi rumput-rumput liar, bagai tak terawat sedikitpun. Aku mengharap kepulanganku ini bisa menyadarkan ibu dengan semua kesalahannya, kesalahan yang telah menghalangiku meraih masa depan, karna hanya itu yang membuatku sedikit membencinya.
“Astagfirullah buk..”, ibu terbaring di atas tempat tidurnya dengan wajahnya yang terlihat begitu pucat. Wajah itu tak sama seperti dulu, kini wajah itu terlihat begitu lemah. Matanya masih tertutup. Aku mencium keningnya sebagai lambang kasih sayangku. Ibu terbangun. “Intan, untuk apa kamu kembali kerumah ini, bukannya kamu sudah bahagia dengan kehidupan yang baru?”, suaranya terdengar gemetar. Oh tuhan, batinku terasa begitu sakit mendengar ucapan ibu, itu membuktikan bahwa saat ini ibu telah sangat membenciku.
“Bu, kepergianku dari rumah untuk mendapatkan uang, uang untuk pendidikanku buk. Aku akan kuliah dengan uangku sendiri, dengan begitu aku tak akan merepotkanmu”, ibu menangis, ia memandangku dengan sangat dalam. Wajah itu semakin terlihat tak berdaya. “Bukan karena uang ibu tak mengiazinkanmu kuliah, melanjutkan pendidikanmu, tapi ibu takut kamu juga akan seperti abangmu, yang lupa dengan keluarganya, karna terlalu memikirkan pendidikan dan mengejar masa depannya. Jika kamu pergi, siapa lagi yang ibu punya, ayah dan abangmu sudah pergi, apa kamu juga akan pergi seperti mereka, meninggalkan ibu?”. “Tapi buk, aku tak akan seperti abang yang sombong dengan kepintarannya. Jika aku sukses, aku akan membahagiakanmu buk.” Lidahku tak mampu lagi berucap. Kini aku baru sadar, ternyata ibu begitu menyayangiku, bahkan lebih dari sayangku kepadanya. Hanya karena kesalahan abangku, ia menjadi bersikap seperti ini kepadaku. Oh tuhan, maafkan aku, aku hanya anak kecil yang tak tau apa-apa sunguh aku tak punya hak untuk orang yang tela mengandung dan membesarkanku selama ini. “maafkan aku bu, aku telah salah menilaimu”, mencium dan memeluknya, melepaskan kerinduan yang telah terpendam selama ini. [Ikhwani]
Page 6 of 30 : Gambar Print Preview Pada Majalah
Kami sangat mengharapkan komentar dari kalian agar edisi kedepannya lebih baik lagi
Terima Kasih :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar